Ketika saya menuliskan ini, saya sedang duduk dibawah hamburan sinar matahari
pagi. Suhu masih dingin mencengkeram meskipun jam sudah menunjuk pukul 07.43
WIB. Di depan saya sedang menghampar jurang-jurang bertingkat dengan pohon
kanopi tumbuh dipinggirannya. Nan jauh di laras ujung sana terlihat bangunan
rapat dibawah kaki gunung Pangrango. Samping kanan-kiri saya dikelilingi oleh
perbukitan hijau dengan tutupan pohon cemara.
Udara disini sangat sejuk. Nyanyian jenakan burung-burung seakan menghangatkan
embun diujung rerumputan yang perlahan menguap. Sesekali embikan kambing
terdengar hampir dari timur. Ahh, betapa indahnya hidup ini. Tempat eksotis
yang hanya diisi oleh 77 KK ini sejenak membantu saya melupakan rutinitas
hidup. Saat ini, saya sedang berada di Paseban.
Kunjungan Kedua
Ini adalah
kunjungan kedua saya sejak terakhir saya datang lebih dari 2,5 tahun yang lalu.
Saya melihat banyak perbedaan dibandingkan kunjungan pertama saya dulu.
Lahan-lahan yang dulunya lebih banyak dihuni ilalang kini sudah banyak digarap.
Pertanian modern sudah terlihat dibeberapa tempat. Dua setengah tahun yang
lalu, desa ini masih menjadi daerah sepi yang tidak diperhatikan. Padahal,
letaknya tidak jauh dari kawasan “elit” Puncak, Cisarua, Bogor.
Potensi peternakan disini sangat bagus. Hampir semua rumah memiliki ternak
kambing. Kondisi suhu yang menyerupai iklim subtropis khas dataran Eropa
menjadikan kambing ternak dapat tumbuh maksimal. Selain ternak, tanaman sayur
seperti pakcoy, sawi, dan bawang juga dapat berproduksi maksimal.
Investor-investor besar sudah terdekteksi menanam modal disini. Di Barat daya
tempat saya berdiri sekarang, “factory” sederhana bikinan investor Perancis
sedang berdiri cantik. Rumah berwarna merah yang dikelilingi bermacam sayuran
ini menjadi bukti sahih bahwa alam Indonesia sungguh amat subuh. Ahh, betapa tidak
bersyukurnya saya memiliki Indonesia.
By : Luki
Setyawan
Please Like & Share
0 comments :
Post a Comment